Perlawan terhadap VOC kembali terjadi di Jawa, kali ini dipimpin oleh bangsawan kerajaan yakni Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Raden Mas Said adalah putera dari Raden Mas Riya yang bergelar Adipati Arya Mangkunegara dengan Raden Ayu Wulan putri dari Adipati Blitar.
Raden Mas Said kemudian diangkat sebagai gandek kraton (pegawai rendahan di istana) dan diberi gelar R.M.Ng. Suryokusumo. Raden Mas Said kemudian mengajukan permohonan untuk mendapatkan kenaikan pangkat, namun justru mendapat cercaan dan hinaan dari keluarga kepatihan, bahkan dikaitkaitkan dengan tuduhan ikut membantu pemberontakan orang-orang Cina yang sedang berlangsung.
Muncullah niat untuk melakukan perlawanan terhadap VOC. Ia diikuti R. Sutawijaya dan Suradiwangsa pergi keluar kota untuk menyusun kekuatan. Oleh para pengikutnya Mas Said diangkat sebagai raja baru dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang. Hingga kini sebutan Mas Said yang sangat dikenal masyarakat yakni Pangeran Sambernyawa.
Perlawanan Mas Said ternyata cukup kuat sehingga menjadi ancaman yang serius bagi eksistensi Pakubuwana II sebagai raja di Mataram. Pada tahun 1745 Pakubuwana II mengumumkan sayembara barang siapa yang dapat memadamkan perlawanan Mas Said akan diberi hadiah sebidang tanah di Sukowati (di wilayah Sragen sekarang).
Mendengar adanya sayembara Pangeran Mangkubumi adik dari Pakubuwana II ingin mencoba sekaligus menakar seberapa jauh komitmen dan kejujuran Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi berhasil memadamkan perlawanan Mas Said. Ternyata Pakubuwana II ingkar janji, karena bujukan Patih Pringgalaya, Pakubuwana II tidak memberikan tanah Sukowati kepada Pangeran Mangkubumi.
Terjadilah pertentangan antara Raja Pakubuwana II yang didukung Patih Pringgalaya di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi di pihak lain. Tiba-tiba dalam pertemuan terbuka di istana itu Gubernur Jenderal Van Imhoff mengeluarkan kata-kata yang menghina dan menuduh Pangeran Mangkubumi terlalu ambisi mencari kekuasaan.
Hal inilah yang sangat mengecewakan Pangeran Mangkubumi segera meninggalkan istana dan mengadakan perlawanan terhadap VOC. Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya pertama kali pergi ke Sukowati untuk menemui Mas Said. Kedua pihak bersepakat untuk bersatu melawan VOC. Mangkubumi dan Mas Said sepakat untuk membagi wilayah perjuangan.
Raden Mas Said bergerak di bagian timur, daerah Surakarta ke selatan terus ke Madiun, Ponorogo dengan pusatnya Sukowati. Sedangkan Mangkubumi konsentrasi di bagian barat Surakarta terus ke barat dengan pusat di Hutan Beringin dan Desa Pacetokan, dekat Pleret (termasuk daerah Yogyakarta sekarang).
Pada tahun 1749 dalam suasana perang sedang berkecamuk di berbagai tempat, terpetik berita kalau Pakubuwana II jatuh sakit. Dalam keadaan sakit ini Pakubuwana II terpaksa harus menandatangani perjanjian dengan VOC pada tanggal 11 Desember 1749 antara Pakubuwana II yang sedang sakit keras dengan Gubernur Baron van Hohendorff sebagai wakil VOC. Isi perjanjian antara lain :
- Susuhunan Pakubuwana II menyerahkan Kerajaan Mataram baik secara de facto maupun de jure kepada VOC.
- Hanya keturunan Pakubuwana II yang berhak naik tahta, dan akan dinobatkan oleh VOC menjadi raja Mataram dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC.
- Putera mahkota akan segera dinobatkan.
Sembilan hari setelah penandatanganan perjanjian itu Pakubuwana II wafat. Tanggal 15 Desember 1749 Baron van Hohendorff mengumumkan pengangkatan putera mahkota sebagai Susuhunan Pakubuwana III.
Pangeran Mangkubumi dan Mas Said sangat kecewa dengan adanya perjanjian tersebut, sehingga keduanya harus meningkatkan perlawanannya terhadap kezaliman VOC. Perlawanan Pangeran Mangkubumi berakhir setelah tercapai Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755. Isi pokok perjanjian itu adalah bahwa Mataram dibagi dua. Wilayah bagian barat (daerah Yogyakarta) diberikan
kepada Pangeran Mangkubumi dan berkuasa sebagai sultan dengan sebutan Sri Sultan Hamengkubuwana I, sedang bagian timur (daerah Surakarta) tetap diperintah oleh Pakubuwana III.
Sementara perlawanan Mas Said berakhir setelah tercapai Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 yang isinya Mas Said diangkat sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.
Pangeran Mangkubumi dan Mas Said sangat kecewa dengan adanya perjanjian tersebut, sehingga keduanya harus meningkatkan perlawanannya terhadap kezaliman VOC. Perlawanan Pangeran Mangkubumi berakhir setelah tercapai Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755. Isi pokok perjanjian itu adalah bahwa Mataram dibagi dua. Wilayah bagian barat (daerah Yogyakarta) diberikan
kepada Pangeran Mangkubumi dan berkuasa sebagai sultan dengan sebutan Sri Sultan Hamengkubuwana I, sedang bagian timur (daerah Surakarta) tetap diperintah oleh Pakubuwana III.
Sementara perlawanan Mas Said berakhir setelah tercapai Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 yang isinya Mas Said diangkat sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.